EbMBK9LV3U2J5pqb5aBuXdjmVrgXJ3azcHngXLqi
EbMBK9LV3U2J5pqb5aBuXdjmVrgXJ3azcHngXLqi

Bagian dari Komunitas:

Bookmark

PNS Kaya karena Berhutang, Benarkah?

Lima tahun yang lalu, saat masih kuliah, ada salah satu teman yang berprofesi PNS bilang kalau ada orang yang bekerja jadi PNS itu kaya, maka cuma ada dua kemungkinan: pertama kalau bukan karena hutang, kedua ya karena ada kerja sampingan yang bikin punya penghasilan tambahan.

Waktu itu, aku yang masih remaja naif cuma mendengarkan sambil mencoba memahami. Kata-kata beliau pun aku ingat sampai ini. Aku tidak terlalu familiar perkara hutang, meskipun pernah sekali-dua kali mendengar mama dan kerabat membahas tentang hutang-piutang, aku tidak pernah memikirkan dalam-dalam tentang opsi berhutang yang ternyata masuk ke dalam pilihan hidup finansial orang dewasa.

Tetapi sejak terjun sendiri menjadi PNS, aku mulai bisa memahami kenapa seniorku dulu mengatakan hal seperti itu. 



Sekolahkan SK.


Pernah mendengar istilah itu? Kalau ada di lingkungan birokrasi niscaya setidaknya pernah mendengar sekali tentang selembar kertas yang disuruh sekolah lagi ini. Bahkan sebelum resmi jadi PNS alias masih CPNS (masih ada huruf 'C' yang artinya calon, belum resmi PNS), sudah ada teman yang sesumbar ingin menyekolahkan SK untuk DP naik haji karena Kalimantan Selatan katanya untuk naik haji reguler antrinya tuh lama banget, jadi dia ingin mengamankan kursi duluan.

Soal ibadah dan keuangan tentu setiap orang punya kebebasan menentukan pilihannya. Tapi serius, semakin kesini alasan beberapa orang untuk berhutang mulai nggak masuk di akalku karena uangnya digunakan untuk kebutuhan tersier yang tanpa itupun hidupnya oke-oke saja. 

Berhutang untuk membeli rumah agar keluarga bisa punya tempat tinggal, good.
Berhutang untuk membeli mobil karena jauh dari keluarga dan punya beberapa anak balita yang rentan dengan cuaca panas/hujan, your choice.

Tapi berhutang buat beli iPhone 14 yang harganya turun terus tiap tahun untuk ngasih makan ego dan gensi? Dengan catatan, dia bukan content creator yang bisa menghasilkan pundi-pundi dari HP ya. 

Hmmm tunggu dulu, ini tuh kalau kata anak Twitter: Sebaiknya jangan terlalu gegabah. 😂

Memang, semua orang punya alasan untuk memulai berhutang, entah itu hutang konsumtif atau produktif. Who I am to judge.


Alasan Berhutang


1. Berhutang itu mudah


Mudah banget, seperti yang tadi aku bilang tinggal sekolahkan SK saja ke bank. Cukup dengan jaminan kertas sakti itu dan persetujuan pimpinan, maka dalam tempo waktu yang tidak terlalu lama uang pinjaman sudah akan cair. 

Nggak perlu capek kerja saat itu, capeknya nanti-nanti. *eh

2. Gaji Pokok PNS itu takarannya sama seluruh Indonesia, dan tidak 'sebesar itu'. 


Gaji pokok PNS nggak di desain untuk menjadikan kita kaya, tapi cukup untuk hidup. Mungkin cukup buat sesekali makan enak ke cafe atau resto, beli beberapa barang bagus, tapi tidak sebesar itu untuk bisa beli rumah cash, beli mobil cash, beli sawah dan emas buat investasi, bayar uang pangkal sekolah anak di swasta dengan cash. Intinya, living cost selama nggak neko-neko Insya Allah cukup. Tapi nggak bisa buat hedon bergelimang kemevvahan. 

Jikalau ada yang hedon, berhusnudzon dulu kalau pasti ni orang ada sampingan atau side job yang bikin passive income, dan mungkin 'keran samping' itu lebih dari satu. Memang ada loh, kenalan yang PNS biasa tp kebunnya berhektar-hektar, punya toko beberapa buah juga. Jadi passive income-nya dua digit duluan sebelum diangkat menjadi PNs karena itu adalah usaha warisan yang bukan berbentuk CV/PT.

3. Di lingkungan PNS banyak yang berhutang. 


Satu hal yang aku baru sadari ternyata berhutang itu seumum itu di kalangan PNS, bahkan sosialisasi berhutang melalui selebaran kertas ilustrasi angsuran pinjaman di bank sudah dibagikan dari awal kami masuk mengurus pembukaan rekening untuk pembagian gaji bulanan. Dan baru malam tadi, ada WA masuk yang mana isinya menawarkan pinjaman dengan bunga rendah di bank. Dan untuk WA ini cukup massive ya, sepertinya tiap bulan pasti ada masuk dan bahkan bukan cuma dari satu nomor tapi beberapa nomor. 

Pengalamanku saat meminta slip gaji ke bagian keuangan pun, sebagai PNS cilik ditanyakan apakah untuk keperluan berhutang atau nggak. Jadi paham rasanya kenapa dari awal jadi PNS, aku tuh sudah diwanti-wanti duluan sama mama untuk tidak berhutang kalau nggak perlu-perlu banget. Malah belakangan ini sejak beliau suka menonton video YouTube Arli Kurnia, beliau sudah mulai 'mengharamkan' berhutang ke bank. Semoga aku kuat dalam menjalankan hidup sederhana dan semoga rezekiku banyak supaya kalau mau perlu ini itu nggak perlu berhutang. Aamiin. 

4. Dukungan internal


Ada loh, keluarga yang mendukung untuk berhutang. Keluarga yang kalau ada apa-apa solusinya tuh ya berhutang.

Kalau dulu itu ada istilah 'tebang'. Jadi misalkan kita berhutang A, kalau ada uang maka kita lunasi hutang A itu. Terus nanti kalau ada perlu lagi, kita bikin utang B, ada uang lunasi lagi. Kalau ada perlu lagi kita bikin hutang C, kalau ada uang lunasi lagi. Begitu seterusnya sampai habis selesai. (btw, nafsu manusia tuh ada selesainya nggak sih?) 

Mostly generasi tua yang memakai cara semacam ini, entah bagaimana skema pembayaran dahulu itu, ataukah karena banyak yang berhutang di koperasi daripada di bank sehingga proses 'tebang' berbeda dengan konsep bank yang memakai model piramida terbalik dan penalti lumayan besar. Yang jelas bahkan mama pun pernah cerita soal 'tebang' ini. 

Kata netizen apa gaes? Yap, katanya.... 

✨ Kalau nggak ngutang, nggak bakalan punya apa-apa ✨

***

Pengalaman Berhutang


Jujur, daku pun tak bersih-bersih amat dari riwayat berhutang. Keluarga kami pun pernah juga ngutang ke bank, bestie. 

Jadi ceritanya waktu itu Abah Nuy sedang pendidikan, dan dana untuk pembayaran kuliah dari Kemenkes masih belum cair. Galau dong ya, soalnya batas waktu pendaftaran ulang tidak terlalu panjang sedangkan kapan dana pendidikan cair masih belum tahu. Karena sudah buntu, akhirnya kami pun memilih opsi untuk berhutang. Haha *ketawa masam*

Dengan dalih bahwa nanti kalau dana pendidikan cair akan kami 'tebang', akhirnya tingnong! Nggak perlu waktu lama dana pun cair dan kami berhasil melunasi uang pangkal pendidikan Abah. 

Kalau kebayang waktu itu, rasanya berhutang tuh super dipermudah. Nggak perlu waktu lama, dan saya cukup tanda tangan sebagai istri memberikan izin untuk berhutang pada suami. 

Tapi tahu nggak? Pelunasannya syuliiiid. Beneran syulid. No tipu-tipu saya bilang ini karena memang sesulit itu. 😂🙈

Kami berhutang sekitar 30 juta. Yap, cuma 30 juta karena pure untuk bayar biaya pendidikan dan persiapan pindah ke Malang dengan sudah ngepress biaya seminimal mungkin. 

Terus, waktu dilunasin dengan cicilan yang sudah dibayar melalui potongan gaji setiap bulannya selama kurang lebih 3 tahun lebih, sisanya tuh masih banyak banget. Saya lupa berapa tapi cukup lah bikin kami terdiam sambil saling lempar pandangan kecut. hahaha

Sebenernya hal seperti ini sudah jelas ada di surat perjanjian ya, mungkin kaminya aja yang kurang teliti. Tapi suami masih ingat banget apa kata petugas bank waktu pelunasan dan pengembalian SK. 

"Tapi nanti mau berhutang lagi kan, pak? " 🥺

Dan sejak itu, dia pun kapok 😂. 

***

Jadi, berhutang atau Tidak Nih? 


Mau PNS atau bukan, berhutang menurut ahli keuangan boleh-boleh saja dilakukan. Ada berbagai pendapat tapi kebanyakan mengatakan kalau porsi cicilan ideal maksimal hanya 30% dari pendapatan. Nah tinggal disesuaikan ya karena rumah tangga orang berbeda-beda kebutuhannya. 

So, berhutang atau enggak, semuanya ada di tanganmu.