Pada suatu masa, saya pernah menjadi seorang talkative person. Seorang Sanguinis yang mulutnya terus-menerus mengeluarkan ide-ide dan juga semua hal yang terlintas didalam pikiran. Saat itu, saya berusaha mengakrabi semua orang, baik itu guru, teman sekelas, bahkan dengan orang asing yang baru sekali bertemu. Orang zaman sekarang bilang, itu namanya SKSD. (Sok Kenal Sok Dekat). Daaan, ya! Masa itu, saya orang yang super SKSD.
Saya aktif
di kelas dan bersedia mengerjakan tugas yang dihindari oleh teman sekelas. Saya
berusaha sekuat tenaga menekan jiwa malu saya yang mengakar dengan tertawa dan
mengacungkan tangan di setiap kesempatan. Saat itu, saya selalu berpikir kalau
semua hal di dunia ini bisa saya lakukan.
I was
young, and naïve.
Ada satu
momen dalam hidup di masa remaja saya yang menjadi sebuah titik balik karakter
saya. Ada sebuah luka parah yang berusaha saya obati dalam senyap. Konsekwensi dari
mengobati hati sendirian adalah perubahan karakter, dari seorang dominan Sanguinis,
menjadi seorang dominan melankolis. Dan itu yang saya alami.
Saya merasakan bahwa kepribadian saya kembali seperti saya masih
SD yang selalu menghindari keramaian. Kala itu saya nyaris kehilangan rasa percaya
diri yang dulu pernah saya pegang erat-erat. Saya sama sekali tidak ingat sebaris
pun isi 2 lembar kertas folio materi pidato bahasa Arab yang pernah saya hafal
di luar kepala. Saya bahkan berusaha menutup diri dan mulai meragukan setiap
keputusan yang saya buat.
Pertanyaan
seperti “apakah ini sudah benar?”, “Apakah saya berbeda dengan orang lain?”
menjadi sebuah sebuah pertanyaan retoris yang entah kenapa sulit saya jawab.
Hidup saya
saat itu seakan menjadi sebuah pencarian identitas yang begitu suram. Saya
berusaha meraba mana jalan yang paling nyaman untuk saya lalui, tapi saya tidak
menemukannya, atau lebih tepatnya, saya
belum menemukannya.
💻💻💻
Menulis, sebuah usaha menormalkan kembali diri sendiri.
Throwback
kembali ke memori saat saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Kira-kira kelas
2 SD (usia 7-8 tahun), saya adalah korban perundungan. Saya tidak punya tempat
bercerita dan saya tidak bisa bercerita dengan siapa-siapa. Tidak ada orang dewasa
yang benar-benar melakukan tindakan meski saya mati-matian berusaha menjelaskan
dengan bahasa anak kecil saya saat itu. Saya merasa sebuah sia-sia untuk
berbicara sehingga saya memilih untuk mengubur semuanya dalam diam dan berusaha
mengobati setiap rasa malu dan sedih hanya dengan membaca dan menggambar.
Terdengar
menyedihkan?
Oh, percaya
saja, rasanya saat itu saya ingin mengurung diri sepanjang hari di kamar. Saya
bahkan secara sembunyi-sembunyi membolos agar tidak ke sekolah lagi, padahal
saya termasuk anak yang senang sekali belajar.
Saya mulai
menulis diary, saya mengabadikan semua momen dalam bentuk tulisan, gambar, dan symbol.
Saya menuliskan semua hal, mulai dari pendapat saya tentang karakter A,
kelebihan G, kekurangan X, dan seluruh isi pikiran saya dalam bentuk tulisan
yang… Simbolis. Yang mungkin, bila saya kembali menemukan diary itu hari ini,
saya bahkan tidak tahu apa artinya karena saya tidak bisa membacanya.
Tapi saya
tahu jelas, saat itu, saya tidak percaya
siapapun. Bahkan untuk kertas tempat saya menulis.
Experienced Blogging
Saya
pertama kali menulis di bangku SMK, dan saya tidak pernah menyesali itu karena
dengan menulis saya bisa sedikit demi sedikit menormalkan kehidupan saya yang
pernah jungkir balik.
Self-healing, kata orang. Suami saya bahkan bilang setiap menulis saya begitu emosional, seolah energi negatif melebur hilang di tiap tuts keyboard yang saya tekan.
Dan memang benar, dengan menulis saya bisa kembali menuliskan bagaimana cara saya berkomunikasi dulu: straight, confident, nyablak, lebay, you name it. Pokoknya sesuatu yang sekarang tidak bisa lakukan dengan orang baru karena saya yang sekarang adalah true definition of awkward person yang sering berkeringat dingin dan juga gemetaran jika berada di tengah orang banyak. Saya hanya bisa menunjukkan sisi saya yang dulu dengan orang yang telah lama berada dalam ruang lingkup kehidupan saya, atau orang yang saya merasa bisa percaya sepenuhnya.
Bukan hal baru jika ada teman blogger yang kemudian bilang bahwa tulisan saya dengan saya yang asli itu berbeda, karena di real life, saya adalah orang yang pemalu dan normatif. Sedangkan di dunia maya (terutama blogging) saya acapkali jadi orang yang lumayan 'berisik'. Karena ya memang begitulah ajalnya.
Self-healing, kata orang. Suami saya bahkan bilang setiap menulis saya begitu emosional, seolah energi negatif melebur hilang di tiap tuts keyboard yang saya tekan.
Dan memang benar, dengan menulis saya bisa kembali menuliskan bagaimana cara saya berkomunikasi dulu: straight, confident, nyablak, lebay, you name it. Pokoknya sesuatu yang sekarang tidak bisa lakukan dengan orang baru karena saya yang sekarang adalah true definition of awkward person yang sering berkeringat dingin dan juga gemetaran jika berada di tengah orang banyak. Saya hanya bisa menunjukkan sisi saya yang dulu dengan orang yang telah lama berada dalam ruang lingkup kehidupan saya, atau orang yang saya merasa bisa percaya sepenuhnya.
Bukan hal baru jika ada teman blogger yang kemudian bilang bahwa tulisan saya dengan saya yang asli itu berbeda, karena di real life, saya adalah orang yang pemalu dan normatif. Sedangkan di dunia maya (terutama blogging) saya acapkali jadi orang yang lumayan 'berisik'. Karena ya memang begitulah ajalnya.
Namun terlepas dari hal itu, menulis di blog adalah sebuah langkah besar dalam kehidupan saya, dan saya sangat bersyukur bisa mengenal blog.
Selamat Hari Blogger Nasional 27 Oktober!
Ditulis dalam rangka #KolaborasiFBB
Dan saya pun jadi kembali ke masa lalu. Masa di mana jaman SD yg sudah merasakan bullyan. Dulu bahasanya ejekan gitu. Karena begitu saya jadi jarang berinteraksi dg lingkungan. Saya lebih mengurung diri di kamar, kadang baca buku, kadang menggambar, atau bahkan cuma tidur. Rasanya dulu saya benci sekali bertemu dg orang, ujung-ujungnya meledek dan bikin sakit hati. Menangis bukannya dibuat tenang malah diejek habis-habisan.
ReplyDeleteBegitu terus sampai lulus SD. Di SMP, Alhamdulillah, saya mulai mencoba berani mengenal lingkungan. Mengenal banyak teman yg baik. Dan kegemaran menulis makin meningkat seiring dengan pelajaran Bahasa Indonesia yg menyenangkan karena ada guru yg sangat riang dan selalu sabar memberi pengarahan. Dari itu, saya suka menulis di buku diary sampai SMK. Dan yang kemudian lanjut di blog.
..
Salam kenal, maaf komentarnya berbau-bau curhat. 😅
Sangat menginspirasi ^_^
ReplyDeleteMenulis ternyata memang bisa menjadi terapi ya.
Mending kalau senyap di kehidupan nyata, tapi berisik di dunia maya. Saya mah senyap keduanya XD
Alhamdulillah, aku juga bersyukur banget mbak bisa kenal blog.
ReplyDeleteBisa berbagi walau hanya dengan tulisan :')
selamat hari blogger nasional
salam
Simatakodok.blogspot.com
hmm.. kalau aku kayaknya antara blog dan aslinya sama aja ya. nggak terlalu banyak omong. nulis pun irit. hehe
ReplyDeleteSetia menulis saya begitu emosional, seolah energi negatif melebur hilang di tiap tuts keyboard yang saya tekan. Benar banget dan nisa suka ini kata kata.
ReplyDeleteBiasanya kalau dalam keadaan tidak stabil atau pikiran negatife buru buru deh, tulis di note terus update ke blog hehe manfaat nge blog yang gak kerasa hihi
Selamat hari blogger nasional :))
Sayang sekali saya baru tahu blogging akhir-akhir ini.. rasanya ketinggalan jaman sekali saya.. tapi tak apalah.. meskipun terseok-seok menulis di blog, ada yang bisa saya sampaikan pada artikel-artikel yang saya buat seputar fotografi yang menjadi hobi saya beberapa tahun terakhir. :)
ReplyDeleteIni kaya aku lagi baca ttg diriku sendiri, Mba. 90%. Tentang kepribadian, tentang mengubur sendiri kesedihan, tentang self-healing, tentang tuts yang meleburkan emosi negatif.
ReplyDeleteBedanya perubahan dari sanguin ke melankolis ku terjadi saat kuliah, cas cis cus ku berubah 180°.
I feel u more
Mba, maaf ya kalo ada kata2ku yang salah selama nge-grup *tetiba mellow