Menjadi tenaga kesehatan adalah hal yang tidak pernah terpikirkan secara serius olehku. Sejak kecil, aku lebih berminat pada linguistik dan seni. Aku senang membaca artikel di majalah Intisari warisan kakek, atau menggambar sketsa meniru tokoh-tokoh yang ada di manga. Aku lebih senang menulis artikel meniru-niru tulisan yang aku temukan di Majalah Nova milik Mama atau Tabloid Gaul dan Fantasi milik abangku.
Hingga lulus SMK Farmasi pun, kala itu aku mengutarakan niatku untuk masuk ke Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa (STIBA) atau melanjutkan ke jurusan yang berhubungan dengan komputer. Tapi namanya sudah nasib, lagi, aku melanjutkan perjuanganku di dunia Farmasi.
Dan, dengan lika-likunya, Alhamdulillah akhirnya... jeng-jeng! Aku lulus sebagai diploma farmasi.
Terharu, ternyata memindahkan tali toga yang sehelai tipis itu aku sudah melewati banyak hal dan mengorbankan tenaga, materi, dan perasaan yang rasanya takjub kalau aku renungkan lagi.
Lulus sebagai tenaga farmasi dan bekerja di beberapa tempat selama 10 tahun terakhir hingga diterima bekerja di Rumah Sakit sejak tahun 2019 akhir lalu menjadikan aku jadi merasa bersenyawa dalam hal pelayanan dengan tenaga kesehatan lainnya.
Mungkin dalam hal ini yang paling bisa dirasakan tentu dengan perawat, bidan dan dokter karena paling sering berinteraksi dengan mereka.
Stereotip kalau Nakes di RS jutek semua, infus anak bisa berdarah, pasien bayar obat banyak dan menunggu lama, sampai cemoohan bila memasang wajah tidak senyum. Waduh, udah dirasani semua! 😆
Nakes kadang mempunyai shift yang cukup tinggi pressure-nya. Ambil contoh paksu aja deh ya.
Dulu aku malas banget masak pagi buat sarapan even pas suami kena dinas pagi. Sampai aku ke RS untuk kontrol hamil Syuna, aku ngeliat dengan mata kepala sendiri Abah lagi nge-bugging pasien dengan dahi berkucuran keringat.
Tobat dah, tobat!
Sejak itu aku selalu mengusahakan buat masak sarapan, terutama pas Abah dinas pagi (waktu itu masih dinas di depo IGD)
Habis itu dia harus lanjut dinas lagi dengan menangani pasien lain (jika masih ada). Bahkan jika udah sarapan sekalipun, gimana capeknya aku masih belum bisa membayangkan. Satu jam bugging, satu jam menangani pasien lain, lanjut ke jam berikutnya gantian lagi nge-bugging dengan teman sedinas.
Capeknya bugging barangkali kayak push up, tapi harus lebih hati-hati dan harus dengan ekstra tenaga. Dan satu jam. Yes, SATU JAM.
Aku masih ingat senyum bahagia Abah saat awal-awal bekerja di Rumah Sakit Umum, saat itu dia berhasil satu kali coba menanam infus untuk bayi. Dan dia tersenyum sepanjang hari saking hepinya.
How come? Karena passionnya memang perawat.
Aku masih ingat saat Abah pulang dinas larut malam karena ada kecelakaan lakalantas, bajunya putihnya berwarna bersimbah darah.
BPJS tidak ditanggung, petugasnya yang dilapangan juga yang kena damprat, apalagi kalau kebetulan pasien atau keluarganya emosi.
Hmmm banyak banget deretan suka dukanya, meskipun Insya Allah lebih banyak SUKA-nya karena lewat perantara pekerjaan ini kami mendapatkan rezeki yang halal untuk diri dan keluarga kami.
Masya Allah Tabarakallah.