EbMBK9LV3U2J5pqb5aBuXdjmVrgXJ3azcHngXLqi
EbMBK9LV3U2J5pqb5aBuXdjmVrgXJ3azcHngXLqi

Bagian dari Komunitas:

Bookmark

Hati-Hati di jalan.


Di akhir liburan semester kelas XI SMK, aku dijemput Abah.

Hari itu panas terik, tapi kata Abah, beliau ingin mengantarkanku kembali ke asrama sekolah. Aku saat itu tidak pernah tahu bagaimana cara menjawab pertanyaan itu karena jujur saja: kami tidak pernah dekat.

Makna ‘dekat’ ini mungkin berbeda dengan orang lain kebanyakan, yang mungkin saja ‘jauh’ yang mereka maksud adalah sulit membuka diri dan membagikan perasaan satu sama lain. Namun, ‘tidak dekat’ yang kumaksud disini adalah aku merasa kalau sosok Abah adalah orang asing. Orang yang hanya terhubung secara biologis denganku, tidak kurang dan tidak lebih.

Ikatan emosional? Duh, sayang, aku umur segitu mana paham parenting. Yang aku pahami, lelaki di dunia ini harus diwaspadai, mereka semua mungkin saja serigala? Yah, semacam itulah. Aku tidak tertarik dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan. 

Dan itu semua mungkin karena Abah.

Hari itu aku malas sekali. Kupikir, lebih baik kalau aku naik taksi sendirian ke Banjarmasin saja seperti biasa, tapi menolak keinginan Abah juga aku tidak kuasa. Abah adalah orang paling keras kepala sedunia, kalau kata Abah A, ya Abah akan melakukan A. Dan mungkin karena itulah, hari itu aku akhirnya entah bagaimana caranya bisa naik ke dalam Jeep milik Abah.

Ya Allah, sampai hari ini aku masih ingat betapa kikuk dan canggungnya aku saat naik ke mobil itu. Belum apa-apa sudah menguar aroma tembakau dan cengkeh yang pekat dari asbak, benar-benar bau rokok khas Abah. Aku tidak suka bau itu. Aku juga tidak suka bertemu Abah. Setiap kami bertemu, Abah selalu memelukku dengan erat dan menciumku dengan barbar. Apa beliau lupa kalau aku ini kan anak perempuan, aku juga sudah besar. Pelukannya membuatku sesak nafas dan ciuman seperti itu menyakitiku karena Abah jarang mencukur bersih janggut dan kumisnya. Selalu ada bagian tajam yang tumbuh dan menusuk pipiku. Aku tidak suka perasaan sesak dan tertusuk itu.

3 jam ke Banjarmasin, aku meyakinkan diriku sendiri untuk tenang dan diam saja sepanjang perjalanan. Tapi Abah entah kenapa cerewet sekali, bertanya a,b,c kemudian bercerita hal-hal yang tidak aku mengerti, aku malas dan tidak tahu harus menjawab apa sehingga responku hanya mengiyakan atau mengangguk saja. Kalau diingat-ingat lagi, itu benar-benar komunikasi satu arah yang payah. Aku adalah pihak yang sama sekali tidak memberi umpan balik.

Dan hasilnya? Abah marah.

Iya, aku masih ingat Abah marah dan mengomel kenapa aku diam saja. Yah, mengomel bukan gaya marah Abah, jadi wajar saja kalau kemudian Abah menghempaskan pintu mobil sampai… copot. Lagi-lagi, aku memakluminya. Hal semacam ini bukan sesuatu aneh untuk Abah yang kekuatan fisiknya di atas orang rata-rata sampai dijuluki ‘jagoan’. Tapi mobil Jeep itu juga sudah tua dan sepertinya kurang maksimal perawatannya, jadi ya mungkin juga karena mobil ini ada mur atau bautnya yang lepas? Aku tidak tahu yang mana penyebabnya, tapi saat itu pintunya copot.

Aku panik. Seakan lupa kalau Abah bisa menjelma apa saja, termasuk jadi montir dadakan. Dan berbekal beberapa peralatan yang disimpan Abah dibawah jok, pintu itu bisa kembali pada tempatnya.

Kami pun melanjutkan perjalanan dalam keheningan. Menyelam dalam pikiran masing-masing. Hanya berselang 5 menit kemudian, Abah mengajakku untuk makan siang terlebih dahulu. Mobil pun menepi di sebuah warung di tepi sungai.

Abah adalah pribadi yang royal, Abah tidak pernah segan untuk memberikanan makanan terbaik dan paling mahal untuk kami anak-anaknya. Hanya saja melihat pilihan hari itu, Abah cukup sederhana, Nila panggang, sayur gangan, sambal, dan nasi panas serta tak lupa segelas besar teh es. Kami berdua mengisi perut dengan lahap sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan kembali.

Berbeda dengan tadi, di sisa 1 jam menuju Banjarmasin, aku membuka suara dan mulai bicara, meskipun suaraku bergetar dan masih tidak bisa membuang perasaan canggung, aku memaksakan diriku untuk bicara. Apakah yang kubicarakan beliau mengerti atau tidak, itu tidak penting. Aku cuma tidak mau Abah marah lagi. Ya, hubungan kami berdua memang hubungan yang aneh dan tidak hangat seperti itu.

Abah tampak senang dan bicara panjang kali lebar kalau aku harus makan supaya punya tenaga, paling tidak untuk bicara. Aku ingat, hari itu Abah juga bertanya tentang kabar Mama, dan kujawab kalau kondisi Mama baik-baik saja. Sulit sekali menerjemahkan makna pandangan Abah saat itu, entah apakah Abah menyesal? Aku tidak tahu dan tidak memikirkannya saat itu. Mereka berpisah saat aku masih kecil, memori dan lukanya masih jelas. Tapi itu sama sekali tidak penting untukku.

Di depan pagar sekolah, aku turun sambil membawa ransel hitamku, bersiap untuk masuk ke dalam asrama yang ada di ujung sekolah. Sesudah bersalaman dengan Abah, lagi-lagi aku dipeluk dan dicium seperti anak TK. Sebal, tapi agaknya sudah berkurang kesalnya karena pembicaraan satu jam terakhir agak mencairkan suasanan.

Sore itu kami berpisah. Abah melanjutkan perjalanannya ke Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu. Dan aku akan meneruskan semester yang baru sebagai anak SMK di Banjarmasin.

Sore itu benar-benar perpisahan.

Itu adalah  adalah pertemuan kami yang terakhir.

🍀🍀🍀

“Hati-hati di jalan~” 🎵🎵

Lagu Tulus yang sempat viral beberapa waktu yang lalu itu memiliki kesan berbeda denganku setiap kali mendengarnya. “Hati-hati di jalan” adalah kata-kata yang ingin aku ucapkan pada Abah sebelum kami berpisah sore itu. Kata-kata yang meskipun tidak ada kalimat tegas seperti “aku, putrimu ini menyayangimu”, atau “Aku rindu padamu” tapi tetap bermakna dalam dan menunjukkan bahwa aku selalu berharap kalau Abah selalu dilindungi oleh Tuhan dan ditunjukkan serta dimudahkan menuju ke jalan yang lurus dimanapun Abah berada. Belakangan aku mengucapkan ini setiap kali berpisah dengan orang-orang yang dekat denganku.

Aku juga makan dan hidup dengan baik, aku sudah belajar bicara dengan orang lain. Aku tidak lagi membuat seseorang mencopot pintu mobil hanya karena emosi denganku. Mungkin aku sudah berubah banyak kalau dibandingkan dengan aku di tahun itu, meskipun masih canggung dan kikuk tentu saja.

Abah sudah menghadap Allah di bulan baik, di hari ke 10 bulan Ramadhan beberapa bulan kemudian sesudah perpisahan kami karena penyakit yang diderita beliau. Abah tidak sakit terlalu lama, tapi justru itu yang mengejutkan karena sekonyong-konyong, di tengah-tengah jam pelajaran ada panggilan dari ruang guru untukku. Berita buruk yang susah dicerna dengan emosi anak-anak milikku itu akhirnya sampai. Aku tidak tahu emosi apa yang seharusnya kurasakan saat itu.

Kita tidak pernah dekat, ya, Abah? ☺️

Putri bungsumu ini cengeng dan tidak pandai bicara sepertimu. Nanti kalau kita dipertemukan Tuhan disana Abah harus mengajariku supaya jadi setegas Abah ya? hehe. 

Saat ini aku akan hidup dengan baik dan menjalani semua sebaik-baik aku bisa.

Mungkin bulan depan aku akan mengambil cuti kerja supaya bisa mengunjungimu lagi di pusara.

Sampai jumpa. 

Al-.fatihah dari putri bungsumu

Post a Comment

Post a Comment

Halo, terimakasih banyak sudah mampir yaa :)
Silakan tinggalkan komentar, Insya Allah saya kunjungi balik ^^